Rabu, 04 Januari 2012

Prolog - II


Keadaan desa tidak seperti hari-hari biasanya. Para penduduk bangun sangat pagi bukan untuk menyiapkan dagangan atau memandikan ternaknya, melainkan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sosok yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Kecemasan terlukis di wajah setiap penduduk, termasuk Joanna dan ibunya, Ketlen yang sejak tadi terlihat berjalan kesana kemari tanpa tujuan.

Aku menghampiri dan berusaha memecah kecemasan mereka,”Hai Jo, tidak siap-siap untuk buka toko, nanti semua pembeli bingung lho.”

Tiba-tiba dia menatapku dengan tajam,”Masih ada waktu memang ya untuk becanda.”, sambil memalingkan muka dan menarik nafas dia melanjutkan,”Seharusnya kamu merasa khawatir untuk dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain.”

Aku hanya tersenyum, karena aku sudah tahu dia akan menjawab sedingin itu. Kami lahir di tahun yang sama dan besar bersama di lingkungan ini, dan tentu saja aku tahu bahwa dia akan menjawab ucapanku seperti itu.

“Tetaplah di rumah, jangan biarkan seorangpun masuk nanti malam.”, jawabku dengan senyum.

“Kamu yang harusnya berpikir seperti itu.Bukankah ayahmu tidak mengizinkanmu untuk ikut bertarung nanti malam. Seharusnya kamu dan Ferren malu, hanya kalian berdua pria yang tidak ikut turun untuk bertarung nanti malam.”

“Huff, aku tidak menyangka kamu akan sedingin itu, kalau ayahku mengizinkan, pasti aku sudah menjadi yang terdepan nanti malam.”, aku sudah tidak dapat tersenyum. “Selamat pagi Nyonya Ketlen.”, sapaku ke Nyonya Ketlen sekaligus pergi meninggalkan mereka. Jelas terlihat wajahnya yang merasa tidak nyaman setelah melihat perkelahian kecil antara aku dan anaknya.

Saat berjalan kembali ke arah ayah, aku melihat Hereff dan Getto datang menghampiri kami. Ayah langsung berdiri dan menunduk hormat kepada Hereff, tanda yang kerap diperlihatkan untuk menghormati orang yang lebih tua dan berpengalaman. Usia mereka terpaut 10 tahun jauhnya, tetapi Hereff memilih jalan yang berbeda dengan ayah, dia memilih untuk tidak menikah dan menjalani hidupnya sendiri. Tidak ada satupun dari penduduk Tummerfall yang mengetahui alasan di balik keputusannya tersebut.

“Saya rasa Getto sudah siap, dia telah memilih senjata yang akan ia bawa nanti malam. Pastikan saja ia tidak menghilangkannya, pedang ini adalah pemberian pamanku.”, ucap Hereff kepada ayah.

Ya, Getto memang bangun lebih dahulu dariku untuk pergi ke rumah Hereff. Di rumah kami tidak ada senjata yang dipersiapkan untuk bertarung, sehingga ayah dan Getto harus meminjamnya dari penduduk lain. Pada saat Getto harus meminjam, ayah telah terlebih dahulu memiliki senjata setelah ia diberikan oleh Bapak Avenicus tadi malam. Sebuah pedang tua yang sudah cukup lama disimpannya di dalam kuil, ia mempercayakannya kepada ayah.

Ayah hanya tersenyum,”Kita pastikan saja tidak ada dari kita yang hilang nanti malam.”

Hereff menjawabnya dengan tertawa kecil,”Ya, pastikan saja kita bertarung dengan seluruh kemampuan kita, kita tidak akan tahu sosok apa yang harus kita hadapi.”

“Hmm, apakah kamu sudah siap, Getto ?”, sambung ayah sambil bertanya ke arah Getto.

“Lebih dari siap, tidak, maksudku memang aku harus siap untuk apapun yang terjadi.”, jawabnya.

Lalu ayah memalingkan wajahnya ke arahku, ia tersenyum kecil dan berkata,”Selalu jadilah pemberani, kelak kau akan menjadi pahlawan untuk dirimu dan orang di sekelilingmu dengan kepercayaan diri yang kamu miliki.”

Aku benar-benar tidak dapat melihat wajahnya, lalu Getto menyambungnya,”Kamu memang tidak pernah menjadi adik yang menyenangkan, tetapi kamu tetaplah saudaraku yang paling kusayang. Ingatlah kata-kata itu, aku tidak ingin mengucapkannya dua kali.”

Aku tidak dapat menyembunyikan ketakutan dan kesedihanku kali ini. ”Kalian akan balik ke rumah kan setelah nanti malam ?!”, entah petanyaan atau pernyataan yang kukatakan kepada mereka.

Mereka hanya tersenyum dan bersama Hereff mereka berjalan menjauh menuju Kuil  Ethyre. Di sanalah tempat para penduduk yang akan bertarung nanti malam berkumpul. Dua jam kemudian, Hereff keluar dari kuil dan menyuruh para penduduk yang lain untuk masuk ke dalam rumahnya masing-masing dan tidak pernah keluar sampai esok pagi. Di sini aku menyadari, jika ayah dan Getto tidak muncul esok pagi, maka mereka tidak akan pernah kembali. Saat ini lah aku mengawali penungguanku akan kehadiran mereka dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran dimulai.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku berdiri dan berjalan mundur sambil tetap menatap pintu kayu tua yang ada di depanku tersebut. Keringat dingin terus mengucur dengan derasnya, rasa takut yang tidak dapat aku jelaskan menyelimuti segala pikiranku. Sesuatu akan memasuki rumahku, dan aku tidak tahu harus lari kemana. Langkah itu semakin terdengar keras di telingaku, semakin dekat menghampiri pintu rumahku. Penglihatanku semakin tidak jelas akibat air mata dan keringat yang memedihkan mataku. Aku tahu ada sesuatu yang mulai memegang gagang pintuku dari bagian luar. Tiba-tiba pintu itu terdorong ke arah dalam dan terbuka begitu saja. Kakiku kehilangan tenaganya seketika, dan aku jatuh terduduk menatap sosok yang berdiri di hadapanku tersebut.

“Leon, tolong aku, kita harus pergi dari sini.”, sosok itu berkata kepadaku dengan penuh rasa sakit dan takut, lalu ia terjatuh.

Aku mengusap mataku, kini aku dapat melihat jelas bahwa Joanna lah yang telah memasuki rumahku. Aku sedikit lega, meskipun rasa takut masih sangat menyelimuti pikiranku. Andai saja itu bukan Joanna, mungkin aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diriku.

Joanna terlihat sangat tidak bertenaga dan tergeletak lemas di hadapanku. Warna merah darah mewarnai gaun tidur putihnya yang masih ia pakai sejak tadi pagi. Sebelum aku sempat bertanya apa yang telah terjadi, ia lebih dahulu berkata,

“Mereka membunuh ibuku. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali dan menemukan kita.”

Apa yang sebenarnya terjadi ? Siapa mereka yang membunuh Nyonya Ketlen ? Aku belum sanggup untuk menanyakan itu kepada Joanna. Aku kumpulkan seluruh kekuatanku yang tersisa, dan berusaha berdiri untuk menghampirinya. Aku berusaha mengangkatnya, tetapi setelah melihat kakinya yang terluka entah oleh apa yang terjadi, aku merasa bahwa ia benar-benar kehabisan tenaganya. Maka aku berusaha menggendongnya di punggungku dengan perlahan agar dia tidak merasakan sakit. Setelah cukup nyaman, akupun berdiri dengan Joanna berada di punggungku.

“Kemana kita harus pergi ? Aku akan berusaha melindungimu apapun yang akan terjadi.”, ucapku.

“Jangan pergi kesana.”, jawabnya sambil menunjuk ke arah kanan jauh rumahku. “Mereka sedang melakukan sesuatu di dalam kuil, kita harus cepat lari sebelum mereka melihat kita.”

Aku harus dapat mengambil keputusan tepat saat ini, itu yang ada di pikiranku. Aku berusaha menjauhkan segala perasaan takutku dan mengalihkannya dengan perasaanku untuk melindungi Joanna. Aku lari ke arah semak-semak rendah di belakang rumahku, ke arah lahan luas milik Paman Rowe yang ada di belakang rumahku. Sambil berlari aku melihat sekilas keadaan desaku yang hancur berantakan, bahkan aku sempat melihat kondisi rumah Joanna dimana bagian depan rumahnya seperti hancur akibat dihantam oleh sesuatu yang besar.

Aku terus berlari melewati lahan yang luas ini, menginjak-injak tanaman terung dan kol yang aku lewati. Memang terasa sangat lemas, tetapi aku tidak boleh berhenti, aku harus tetap berlari. Setelah melewati lahan luas ini aku sampai di depan bangunan rumah Paman Rowe. Maka tidak jauh lagi aku akan sampai di daerah peternakan ayam miliknya dan kemudian akan sampai di hutan pinus yang ada di belakangnya.

Perlahan tapi pasti aku sampai di hutan tersebut. Aku tetap berlari cukup jauh ke dalam hutan sampai akhirnya aku merasa aman bahwa mereka tidak akan menemukan kami di sini. Aku menurunkan Joanna dari punggungku dan menyenderkannya di sebuah batang pinus tua yang sudah tertebang. Ia menarik nafas sangat panjang sebelum ia merintih kecil akibat rasa sakitnya kemudian.

Aku berlutut dan membersihkan keringat yang ada di dahinya dengan telapak tanganku. “Aku akan melindungimu, tenangkan dirimu.”, ucapku.

Ia hanya tersenyum kecil. Aku tahu ia pasti berharap seseorang yang lebih kuat daripada aku yang akan melindunginya.

“Apa yang sebenarnya terjadi ? Siapa mereka yang tadi kamu sebutkan ?”, sambungku dengan sedikit terbata-bata akibat letih dan perasaan takut yang masih aku rasakan.

“Aku tidak tahu apakah selain kita masih ada penduduk yang selamat seperti kita, mereka menghancurkan segalanya.”, ia merintih kecil sebelum melanjutkan kata-katanya,”Mungkin mereka mengincar sesuatu yang terdapat di dalam Kuil Ethyre.”

Aku terdiam tak sanggup berkata-kata. Aku teringat dengan ayah dan Getto. Dimana sesungguhnya mereka sekarang ? Apakah makhluk-makhluk kejam itu juga membunuh keduanya ? Aku tak sanggup berpikir lagi, badanku terasa kaku dan lemas.

“Jangan tinggalkan aku, Leon. Aku akan mengikuti kemanapun kamu pergi mulai sekarang.”, air matanya keluar sangat deras tiba-tiba. “Kalau kau meninggalkanku, maka aku tidak akan mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini….” Ia melanjutkannya dengan isak tangisnya. Ia benar-benar takut, ia benar-benar sedih, dan itu juga lah yang kini aku rasakan. Jika aku tidak bertemu kembali dengan ayah dan Getto, maka ialah satu-satunya yang kini kumiliki dan aku harus melindunginya.

Awan hitam mulai menutupi bulan yang bersinar terang di atas sana. Hujan mulai turun perlahan diiringi suara nyanyian burung dan jangkrik di malam hari. Aku memeluk dirinya dengan lembut, “Aku akan melindungimu.” 


Don't forget to check the English version at http://thebladeofaldae.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar