Keadaan
desa tidak seperti hari-hari biasanya. Para penduduk bangun sangat pagi bukan
untuk menyiapkan dagangan atau memandikan ternaknya, melainkan mempersiapkan
segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sosok yang tidak pernah kita ketahui
sebelumnya. Kecemasan terlukis di wajah setiap penduduk, termasuk Joanna dan
ibunya, Ketlen yang sejak tadi terlihat berjalan kesana kemari tanpa tujuan.
Aku
menghampiri dan berusaha memecah kecemasan mereka,”Hai Jo, tidak siap-siap
untuk buka toko, nanti semua pembeli bingung lho.”
Tiba-tiba
dia menatapku dengan tajam,”Masih ada waktu memang ya untuk becanda.”, sambil
memalingkan muka dan menarik nafas dia melanjutkan,”Seharusnya kamu merasa
khawatir untuk dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain.”
Aku hanya
tersenyum, karena aku sudah tahu dia akan menjawab sedingin itu. Kami lahir di tahun
yang sama dan besar bersama di lingkungan ini, dan tentu saja aku tahu bahwa
dia akan menjawab ucapanku seperti itu.
“Tetaplah
di rumah, jangan biarkan seorangpun masuk nanti malam.”, jawabku dengan senyum.
“Kamu yang
harusnya berpikir seperti itu.Bukankah ayahmu tidak mengizinkanmu untuk ikut
bertarung nanti malam. Seharusnya kamu dan Ferren malu, hanya kalian berdua
pria yang tidak ikut turun untuk bertarung nanti malam.”
“Huff, aku tidak
menyangka kamu akan sedingin itu, kalau ayahku mengizinkan, pasti aku sudah
menjadi yang terdepan nanti malam.”, aku sudah tidak dapat tersenyum. “Selamat
pagi Nyonya Ketlen.”, sapaku ke Nyonya Ketlen sekaligus pergi meninggalkan
mereka. Jelas terlihat wajahnya yang merasa tidak nyaman setelah melihat
perkelahian kecil antara aku dan anaknya.
Saat
berjalan kembali ke arah ayah, aku melihat Hereff dan Getto datang menghampiri
kami. Ayah langsung berdiri dan menunduk hormat kepada Hereff, tanda yang kerap
diperlihatkan untuk menghormati orang yang lebih tua dan berpengalaman. Usia
mereka terpaut 10 tahun jauhnya, tetapi Hereff memilih jalan yang berbeda
dengan ayah, dia memilih untuk tidak menikah dan menjalani hidupnya sendiri.
Tidak ada satupun dari penduduk Tummerfall yang mengetahui alasan di balik
keputusannya tersebut.
“Saya rasa
Getto sudah siap, dia telah memilih senjata yang akan ia bawa nanti malam. Pastikan
saja ia tidak menghilangkannya, pedang ini adalah pemberian pamanku.”, ucap
Hereff kepada ayah.
Ya, Getto
memang bangun lebih dahulu dariku untuk pergi ke rumah Hereff. Di rumah kami
tidak ada senjata yang dipersiapkan untuk bertarung, sehingga ayah dan Getto
harus meminjamnya dari penduduk lain. Pada saat Getto harus meminjam, ayah
telah terlebih dahulu memiliki senjata setelah ia diberikan oleh Bapak Avenicus
tadi malam. Sebuah pedang tua yang sudah cukup lama disimpannya di dalam kuil,
ia mempercayakannya kepada ayah.
Ayah hanya
tersenyum,”Kita pastikan saja tidak ada dari kita yang hilang nanti malam.”
Hereff
menjawabnya dengan tertawa kecil,”Ya, pastikan saja kita bertarung dengan
seluruh kemampuan kita, kita tidak akan tahu sosok apa yang harus kita hadapi.”
“Hmm,
apakah kamu sudah siap, Getto ?”, sambung ayah sambil bertanya ke arah Getto.
“Lebih dari
siap, tidak, maksudku memang aku harus siap untuk apapun yang terjadi.”,
jawabnya.
Lalu ayah
memalingkan wajahnya ke arahku, ia tersenyum kecil dan berkata,”Selalu jadilah
pemberani, kelak kau akan menjadi pahlawan untuk dirimu dan orang di sekelilingmu
dengan kepercayaan diri yang kamu miliki.”
Aku
benar-benar tidak dapat melihat wajahnya, lalu Getto menyambungnya,”Kamu memang
tidak pernah menjadi adik yang menyenangkan, tetapi kamu tetaplah saudaraku
yang paling kusayang. Ingatlah kata-kata itu, aku tidak ingin mengucapkannya
dua kali.”
Aku tidak
dapat menyembunyikan ketakutan dan kesedihanku kali ini. ”Kalian akan balik ke
rumah kan setelah nanti malam ?!”, entah petanyaan atau pernyataan yang
kukatakan kepada mereka.
Mereka
hanya tersenyum dan bersama Hereff mereka berjalan menjauh menuju Kuil Ethyre. Di sanalah tempat para penduduk yang
akan bertarung nanti malam berkumpul. Dua jam kemudian, Hereff keluar dari kuil
dan menyuruh para penduduk yang lain untuk masuk ke dalam rumahnya
masing-masing dan tidak pernah keluar sampai esok pagi. Di sini aku menyadari,
jika ayah dan Getto tidak muncul esok pagi, maka mereka tidak akan pernah
kembali. Saat ini lah aku mengawali penungguanku akan kehadiran mereka dengan
penuh ketakutan dan kekhawatiran dimulai.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku berdiri
dan berjalan mundur sambil tetap menatap pintu kayu tua yang ada di depanku
tersebut. Keringat dingin terus mengucur dengan derasnya, rasa takut yang tidak
dapat aku jelaskan menyelimuti segala pikiranku. Sesuatu akan memasuki rumahku,
dan aku tidak tahu harus lari kemana. Langkah itu semakin terdengar keras di
telingaku, semakin dekat menghampiri pintu rumahku. Penglihatanku semakin tidak
jelas akibat air mata dan keringat yang memedihkan mataku. Aku tahu ada sesuatu
yang mulai memegang gagang pintuku dari bagian luar. Tiba-tiba pintu itu
terdorong ke arah dalam dan terbuka begitu saja. Kakiku kehilangan tenaganya
seketika, dan aku jatuh terduduk menatap sosok yang berdiri di hadapanku
tersebut.
“Leon,
tolong aku, kita harus pergi dari sini.”, sosok itu berkata kepadaku dengan
penuh rasa sakit dan takut, lalu ia terjatuh.
Aku
mengusap mataku, kini aku dapat melihat jelas bahwa Joanna lah yang telah
memasuki rumahku. Aku sedikit lega, meskipun rasa takut masih sangat
menyelimuti pikiranku. Andai saja itu bukan Joanna, mungkin aku tidak tahu apa
yang akan terjadi dengan diriku.
Joanna
terlihat sangat tidak bertenaga dan tergeletak lemas di hadapanku. Warna merah
darah mewarnai gaun tidur putihnya yang masih ia pakai sejak tadi pagi. Sebelum
aku sempat bertanya apa yang telah terjadi, ia lebih dahulu berkata,
“Mereka
membunuh ibuku. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali dan
menemukan kita.”
Apa yang
sebenarnya terjadi ? Siapa mereka yang membunuh Nyonya Ketlen ? Aku belum
sanggup untuk menanyakan itu kepada Joanna. Aku kumpulkan seluruh kekuatanku
yang tersisa, dan berusaha berdiri untuk menghampirinya. Aku berusaha
mengangkatnya, tetapi setelah melihat kakinya yang terluka entah oleh apa yang
terjadi, aku merasa bahwa ia benar-benar kehabisan tenaganya. Maka aku berusaha
menggendongnya di punggungku dengan perlahan agar dia tidak merasakan sakit.
Setelah cukup nyaman, akupun berdiri dengan Joanna berada di punggungku.
“Kemana
kita harus pergi ? Aku akan berusaha melindungimu apapun yang akan terjadi.”,
ucapku.
“Jangan
pergi kesana.”, jawabnya sambil menunjuk ke arah kanan jauh rumahku. “Mereka
sedang melakukan sesuatu di dalam kuil, kita harus cepat lari sebelum mereka
melihat kita.”
Aku harus
dapat mengambil keputusan tepat saat ini, itu yang ada di pikiranku. Aku berusaha
menjauhkan segala perasaan takutku dan mengalihkannya dengan perasaanku untuk
melindungi Joanna. Aku lari ke arah semak-semak rendah di belakang rumahku, ke
arah lahan luas milik Paman Rowe yang ada di belakang rumahku. Sambil berlari
aku melihat sekilas keadaan desaku yang hancur berantakan, bahkan aku sempat
melihat kondisi rumah Joanna dimana bagian depan rumahnya seperti hancur akibat
dihantam oleh sesuatu yang besar.
Aku terus
berlari melewati lahan yang luas ini, menginjak-injak tanaman terung dan kol
yang aku lewati. Memang terasa sangat lemas, tetapi aku tidak boleh berhenti,
aku harus tetap berlari. Setelah melewati lahan luas ini aku sampai di depan
bangunan rumah Paman Rowe. Maka tidak jauh lagi aku akan sampai di daerah
peternakan ayam miliknya dan kemudian akan sampai di hutan pinus yang ada di
belakangnya.
Perlahan
tapi pasti aku sampai di hutan tersebut. Aku tetap berlari cukup jauh ke dalam
hutan sampai akhirnya aku merasa aman bahwa mereka tidak akan menemukan kami di
sini. Aku menurunkan Joanna dari punggungku dan menyenderkannya di sebuah
batang pinus tua yang sudah tertebang. Ia menarik nafas sangat panjang sebelum ia
merintih kecil akibat rasa sakitnya kemudian.
Aku
berlutut dan membersihkan keringat yang ada di dahinya dengan telapak tanganku.
“Aku akan melindungimu, tenangkan dirimu.”, ucapku.
Ia hanya
tersenyum kecil. Aku tahu ia pasti berharap seseorang yang lebih kuat daripada
aku yang akan melindunginya.
“Apa yang
sebenarnya terjadi ? Siapa mereka yang tadi kamu sebutkan ?”, sambungku dengan
sedikit terbata-bata akibat letih dan perasaan takut yang masih aku rasakan.
“Aku tidak
tahu apakah selain kita masih ada penduduk yang selamat seperti kita, mereka
menghancurkan segalanya.”, ia merintih kecil sebelum melanjutkan kata-katanya,”Mungkin
mereka mengincar sesuatu yang terdapat di dalam Kuil Ethyre.”
Aku terdiam
tak sanggup berkata-kata. Aku teringat dengan ayah dan Getto. Dimana sesungguhnya
mereka sekarang ? Apakah makhluk-makhluk kejam itu juga membunuh keduanya ? Aku
tak sanggup berpikir lagi, badanku terasa kaku dan lemas.
“Jangan
tinggalkan aku, Leon. Aku akan mengikuti kemanapun kamu pergi mulai sekarang.”,
air matanya keluar sangat deras tiba-tiba. “Kalau kau meninggalkanku, maka aku
tidak akan mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini….” Ia melanjutkannya dengan
isak tangisnya. Ia benar-benar takut, ia benar-benar sedih, dan itu juga lah yang
kini aku rasakan. Jika aku tidak bertemu kembali dengan ayah dan Getto, maka
ialah satu-satunya yang kini kumiliki dan aku harus melindunginya.
Awan hitam
mulai menutupi bulan yang bersinar terang di atas sana. Hujan mulai turun
perlahan diiringi suara nyanyian burung dan jangkrik di malam hari. Aku memeluk
dirinya dengan lembut, “Aku akan melindungimu.”
Don't forget to check the English version at http://thebladeofaldae.blogspot.com/
Don't forget to check the English version at http://thebladeofaldae.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar