Malam ini
terasa sangat dingin dengan dihiasi bulan yang bersinar sangat terang. Duduk
sendiri di sofa kayu menunggu kabar dari ayah dan Getto. Semakin gelisah
rasanya, dua jam sudah ku menunggu tanpa satu pun dari mereka yang kembali ke
rumah. Aku berdiri dan berusaha mengintip melalui jendela yang terdapat di
ujung ruangan ini. Di kejauhan terlihat keramaian orang dengan obornya
masing-masing sedang menunggu kedatangan sesuatu. Aku tahu sesuatu itu sangat
tidak diharapkan kedatangannya di desa kami ini. Mungkin perasaan yang sama
juga dirasakan oleh Joanna, perempuan yang sama halnya dengan apa yang
kulakukan, juga mengintip melalui jendela rumahnya yang terdapat di seberang
kanan rumahku. Kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti mukanya, serupa dengan
raut wajahku kali ini.
Kembali
duduk di atas sofa kayu tanpa dapat menyembunyikan rasa gelisah yang ada. Tak
ada tanda-tanda kedatangan satu orang pun, begitu pula dengan ayah dan kakakku
tersebut. Kegelapan malam semakin menyelimuti keheningan malam di desa kami.
Itu bukan lah pertanda baik, sebaliknya keadaan seperti ini lah yang semakin
kami tidak harapkan. Getto memang memiliki tubuh yang besar seperti kebanyakan
keluarga dari ayahku yang berdarah Tiran, tetapi aku tetap tidak yakin dengan
kemampuan bertarung dengan pedangnya. Sebagai keluarga petani yang sederhana,
ayah tidak pernah membesarkan kami untuk bertarung. Dan tidak pernah pula ia
memperkirakan situasi seperti sekarang akan datang.
Tidak lama
setelah aku duduk, aku kembali berdiri setelah mendengar kegaduhan yang terjadi
di luar rumah. Apa kah sudah datang ? Apakah mereka benar-benar datang ? Rasa
tegang dan takut seketika menyelimuti diriku. Suara teriakan semangat maupun
ketakutan yang sangat riuh terdengar dari kejauhan di luar rumah kayu ini. Tak
sanggup aku untuk melihat apa yang terjadi melalui jendela. Aku hanya mampu
menatapi pintu tua yang tepat berada di sebelah kiri jendela tempat aku
mengintip sebelumnya. Entah menunggu kembalinya ayah dan kakakku atau menunggu
kedatangan sesuatu yang tidak diharapkan tersebut.
Kegaduhan
semakin terdengar jelas di luar rumah. Bunyi setiap orang yang berteriak dengan
penuh ketakutan dan berlari tanpa arah yang jelas mulai dapat kudengar. Aku
terhenyak kembali duduk di atas sofaku
setelah dua atau tiga orang berlari dengan gaduhnya di depan rumahku. Tetapi
yang membuat tubuhku membatu dengan penuh rasa takut, bahkan hingga air mata
dan keringat keluar sangat derasnya dan bercampur menjadi satu adalah kata-kata
yang terdengar entah dari siapa yang mengucapkannya,
“Berlutut
di dalam panasnya api, menerima kedatangan wahai rasa cinta darah dan jiwa yang kosong…..!”
“Aaaaarrgghhh…….!”,
teriak salah seorang yang sedang berlari dengan sangat keras sebelum kemudian
hilang suaranya dan tidak terdengar lagi.
“Tolong,
tolooong jangan saya…..!”, teriak salah seorang yang lain.
”Selimut
akan rasa amarah dan penyesalan, hidup di dalam bayangan dengan hitamnya hati
yang hampa, Pujaan dari segalanya, Ay…..!”
Belum
selesai kumendengar kata demi kata yang diucapkannya, ia seperti hilang
seketika dan tidak bersuara lagi. Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana, dan
apa yang terdapat di depan rumahku. Teriakan demi teriakan akan rasa takut
terus terdengar semakin dan semakin jelas. Suara pecahan kaca, serta teriakan
para ternak yang juga berlari semakin memperdengarkan kepadaku sebuah
malapetaka yang sedang terjadi di luar rumahku. Dengan perlahan dan pasti,
suara teriakan para ksatria, doa-doa para istri, hingga tangisan para bayi yang
bersatu dengan perasaan cemas ibunya satu demi satu hilang seperti tertelan
oleh sesuatu. Satu demi satu, satu demi satu, dan hilang sudah suara-suara itu.
Keheningan kembali menyelimuti bersama dengan kegelapan. Apa yang sebenarnya
terjadi ?
Beberapa
langkah kaki yang berat terdengar semakin mendekat ke arah rumahku. Terus
semakin mendekat. Aku tidak pernah mendengarkan langkah-langkah kaki ini. Aku
tidak dapat bergerak, kakiku terasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Makhluk
macam apa yang sebenarnya akan muncul di pintu rumahku ini.
Waktu
menunjukkan pukul 04.30 pagi, matahari belum memperlihatkan keutuhan wujudnya.
Aku tidak biasa bangun sepagi ini, tetapi kegaduhan di luar membuatku benar-benar
terbangun. Aku segera mencuci muka dan merapikan penampilanku sebelum menemui
ayah yang duduk di atas kursi kayu tua di serambi rumah kami ditemani secangkir
teh hangat kesukaannya.
“Tidak lama
lagi malam akan tiba, tetap duduk lah di rumah dan perhatikan yang ada di
sekelilingmu. Jangan percaya siapapun.”, ucapnya memecah keheningan pagi ini.
Ya, aku
menyadari kata-kata ayah, mungkin malam ini adalah waktunya. Delapan jam yang
lalu, di bawah hujan yang turun begitu derasnya, seorang Bard yang sudah tidak
bernyawa ditemukan di bagian samping kanan kuil Ethyre, yang berada tidak jauh
dari rumahku, diapit oleh sebuah penginapan tua dan kumuh untuk para pendatang
dan rumah Hereff dengan kandang ternaknya yang menempel di tembok bagian kiri
kuil. Bard adalah para pengelana yang berasal dari bagian Timur Aldae, Negara tertua
di dunia Nhegwards ini. Meski sebagai pengelana, tapi hampir tak pernah seorang
Bard pun datang ke desa kami, Tummerfall. Tentu saja mereka tak akan tertarik
dengan apa yang ada di desa kami ini.
Keramaian
pun segera terjadi di tempat kejadian tersebut. Dan tidak ada satupun dari kami
semua yang dapat menutupi rasa cemas dan tegang yang tertulis di muka kami. Bapak
Avenicus Olodae, pendeta tertua di desa kami, ayahku, Cisero Jvostar, dan
Hereff berkumpul mengelilingi mayat Bard tersebut. Satu demi satu dari mereka
berlutut dan mulai memeriksa mayat yang janggal tersebut. Tidak biasanya Bard
yang berkulit kecoklatan terlihat sepucat dan seputih ini. Bahkan hampir
menyaingi putihnya kulit Bapak Avenicus, yang merupakan Bangsa Teteros, yang
sebagian besar merupakan rakyat Proderim, negeri tetangga Aldae, yang dikenal
dengan kulit putihnya.
“Seorang
Bard tidak mungkin membuang-buang waktunya hanya untuk datang ke Tummerfall,
dan sebelumnya tidak satupun dari kita yang melihat kedatangannya di desa ini.
Apa yang anda pikirkan, Bapak ?”, ujar Hereff sambil mengalihkan tatapannya
dari mayat Bard tersebut ke arah Bapak Avenicus.
Sambil
membuka pakaian mayat tersebut, ia menjawab,“ Bersiap-siap lah kalian semua,
kegelapan telah datang.” Ia menghela nafas panjang,”Mungkin ini adalah pertanda
dari mereka.”
“Apa yang
kau maksud ? Jelaskan kepada kami semua.”, timpal ayah dengan rasa penasaran
dan takutnya.
“Mereka
telah kembali, para petarung yang mengumpat di balik bayangan, Aydelmn.”, jawabnya
sambil menunjuk sebuah lambang lingkaran dengan di dalamnya terdapat sebuah
mata vertikal yang bagian atas dan bawahnya memotong bagian pinggir lingkaran, yang terlukis jelas
di punggung mayat Bard tersebut. “Mereka akan segera datang ke desa ini, ini
adalah tanda dari mereka.”
Ketakutan
seketika menyelimuti semua orang yang ada di sana. Aku tidak tahu siapa itu
Aydelmn yang baru saja aku dengar tersebut, tetapi aku merasa sangat takut.
Begitu halnya dengan Getto yang terdiam tepat di sampingku. Entah apakah ia
mengetahui mengenai Aydelmn tersebut atau tidak, tetapi aku merasakan ketakutan
yang sama dengan yang aku rasakan. Hening dan lebih hening dari sebelumnya,
tidak ada satupun yang berbicara, takut dan sangat takut dirasakan oleh kami
semua. Dan tentu saja kami menyadari bahwa sesuatu akan datang ke desa kami
ini.
Don't forget to check my English version in http://thebladeofaldae.blogspot.com/
Don't forget to check my English version in http://thebladeofaldae.blogspot.com/
jangan lupa bikin garis pembatas untuk pisahin malam sama pagi, terus kakaknya Getta atau Getto?
BalasHapus