Selasa, 03 Januari 2012

Prolog - I

Malam ini terasa sangat dingin dengan dihiasi bulan yang bersinar sangat terang. Duduk sendiri di sofa kayu menunggu kabar dari ayah dan Getto. Semakin gelisah rasanya, dua jam sudah ku menunggu tanpa satu pun dari mereka yang kembali ke rumah. Aku berdiri dan berusaha mengintip melalui jendela yang terdapat di ujung ruangan ini. Di kejauhan terlihat keramaian orang dengan obornya masing-masing sedang menunggu kedatangan sesuatu. Aku tahu sesuatu itu sangat tidak diharapkan kedatangannya di desa kami ini. Mungkin perasaan yang sama juga dirasakan oleh Joanna, perempuan yang sama halnya dengan apa yang kulakukan, juga mengintip melalui jendela rumahnya yang terdapat di seberang kanan rumahku. Kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti mukanya, serupa dengan raut wajahku kali ini.

Kembali duduk di atas sofa kayu tanpa dapat menyembunyikan rasa gelisah yang ada. Tak ada tanda-tanda kedatangan satu orang pun, begitu pula dengan ayah dan kakakku tersebut. Kegelapan malam semakin menyelimuti keheningan malam di desa kami. Itu bukan lah pertanda baik, sebaliknya keadaan seperti ini lah yang semakin kami tidak harapkan. Getto memang memiliki tubuh yang besar seperti kebanyakan keluarga dari ayahku yang berdarah Tiran, tetapi aku tetap tidak yakin dengan kemampuan bertarung dengan pedangnya. Sebagai keluarga petani yang sederhana, ayah tidak pernah membesarkan kami untuk bertarung. Dan tidak pernah pula ia memperkirakan situasi seperti sekarang akan datang.

Tidak lama setelah aku duduk, aku kembali berdiri setelah mendengar kegaduhan yang terjadi di luar rumah. Apa kah sudah datang ? Apakah mereka benar-benar datang ? Rasa tegang dan takut seketika menyelimuti diriku. Suara teriakan semangat maupun ketakutan yang sangat riuh terdengar dari kejauhan di luar rumah kayu ini. Tak sanggup aku untuk melihat apa yang terjadi melalui jendela. Aku hanya mampu menatapi pintu tua yang tepat berada di sebelah kiri jendela tempat aku mengintip sebelumnya. Entah menunggu kembalinya ayah dan kakakku atau menunggu kedatangan sesuatu yang tidak diharapkan tersebut.

Kegaduhan semakin terdengar jelas di luar rumah. Bunyi setiap orang yang berteriak dengan penuh ketakutan dan berlari tanpa arah yang jelas mulai dapat kudengar. Aku terhenyak kembali duduk di atas sofaku  setelah dua atau tiga orang berlari dengan gaduhnya di depan rumahku. Tetapi yang membuat tubuhku membatu dengan penuh rasa takut, bahkan hingga air mata dan keringat keluar sangat derasnya dan bercampur menjadi satu adalah kata-kata yang terdengar entah dari siapa yang mengucapkannya,

Berlutut di dalam panasnya api, menerima kedatangan wahai rasa cinta darah  dan jiwa yang kosong…..!”

“Aaaaarrgghhh…….!”, teriak salah seorang yang sedang berlari dengan sangat keras sebelum kemudian hilang suaranya dan tidak terdengar lagi.

“Tolong, tolooong jangan saya…..!”, teriak salah seorang yang lain.

Selimut akan rasa amarah dan penyesalan, hidup di dalam bayangan dengan hitamnya hati yang hampa, Pujaan dari segalanya, Ay…..!”

Belum selesai kumendengar kata demi kata yang diucapkannya, ia seperti hilang seketika dan tidak bersuara lagi. Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana, dan apa yang terdapat di depan rumahku. Teriakan demi teriakan akan rasa takut terus terdengar semakin dan semakin jelas. Suara pecahan kaca, serta teriakan para ternak yang juga berlari semakin memperdengarkan kepadaku sebuah malapetaka yang sedang terjadi di luar rumahku. Dengan perlahan dan pasti, suara teriakan para ksatria, doa-doa para istri, hingga tangisan para bayi yang bersatu dengan perasaan cemas ibunya satu demi satu hilang seperti tertelan oleh sesuatu. Satu demi satu, satu demi satu, dan hilang sudah suara-suara itu. Keheningan kembali menyelimuti bersama dengan kegelapan. Apa yang sebenarnya terjadi ?

Beberapa langkah kaki yang berat terdengar semakin mendekat ke arah rumahku. Terus semakin mendekat. Aku tidak pernah mendengarkan langkah-langkah kaki ini. Aku tidak dapat bergerak, kakiku terasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Makhluk macam apa yang sebenarnya akan muncul di pintu rumahku ini.

Waktu menunjukkan pukul 04.30 pagi, matahari belum memperlihatkan keutuhan wujudnya. Aku tidak biasa bangun sepagi ini, tetapi kegaduhan di luar membuatku benar-benar terbangun. Aku segera mencuci muka dan merapikan penampilanku sebelum menemui ayah yang duduk di atas kursi kayu tua di serambi rumah kami ditemani secangkir teh hangat kesukaannya.

“Tidak lama lagi malam akan tiba, tetap duduk lah di rumah dan perhatikan yang ada di sekelilingmu. Jangan percaya siapapun.”, ucapnya memecah keheningan pagi ini.

Ya, aku menyadari kata-kata ayah, mungkin malam ini adalah waktunya. Delapan jam yang lalu, di bawah hujan yang turun begitu derasnya, seorang Bard yang sudah tidak bernyawa ditemukan di bagian samping kanan kuil Ethyre, yang berada tidak jauh dari rumahku, diapit oleh sebuah penginapan tua dan kumuh untuk para pendatang dan rumah Hereff dengan kandang ternaknya yang menempel di tembok bagian kiri kuil. Bard adalah para pengelana yang berasal dari bagian Timur Aldae, Negara tertua di dunia Nhegwards ini. Meski sebagai pengelana, tapi hampir tak pernah seorang Bard pun datang ke desa kami, Tummerfall. Tentu saja mereka tak akan tertarik dengan apa yang ada di desa kami ini.

Keramaian pun segera terjadi di tempat kejadian tersebut. Dan tidak ada satupun dari kami semua yang dapat menutupi rasa cemas dan tegang yang tertulis di muka kami. Bapak Avenicus Olodae, pendeta tertua di desa kami, ayahku, Cisero Jvostar, dan Hereff berkumpul mengelilingi mayat Bard tersebut. Satu demi satu dari mereka berlutut dan mulai memeriksa mayat yang janggal tersebut. Tidak biasanya Bard yang berkulit kecoklatan terlihat sepucat dan seputih ini. Bahkan hampir menyaingi putihnya kulit Bapak Avenicus, yang merupakan Bangsa Teteros, yang sebagian besar merupakan rakyat Proderim, negeri tetangga Aldae, yang dikenal dengan kulit putihnya.

“Seorang Bard tidak mungkin membuang-buang waktunya hanya untuk datang ke Tummerfall, dan sebelumnya tidak satupun dari kita yang melihat kedatangannya di desa ini. Apa yang anda pikirkan, Bapak ?”, ujar Hereff sambil mengalihkan tatapannya dari mayat Bard tersebut ke arah Bapak Avenicus.

Sambil membuka pakaian mayat tersebut, ia menjawab,“ Bersiap-siap lah kalian semua, kegelapan telah datang.” Ia menghela nafas panjang,”Mungkin ini adalah pertanda dari mereka.”

“Apa yang kau maksud ? Jelaskan kepada kami semua.”, timpal ayah dengan rasa penasaran dan takutnya.

“Mereka telah kembali, para petarung yang mengumpat di balik bayangan, Aydelmn.”, jawabnya sambil menunjuk sebuah lambang lingkaran dengan di dalamnya terdapat sebuah mata vertikal yang bagian atas dan bawahnya memotong  bagian pinggir lingkaran, yang terlukis jelas di punggung mayat Bard tersebut. “Mereka akan segera datang ke desa ini, ini adalah tanda dari mereka.”

Ketakutan seketika menyelimuti semua orang yang ada di sana. Aku tidak tahu siapa itu Aydelmn yang baru saja aku dengar tersebut, tetapi aku merasa sangat takut. Begitu halnya dengan Getto yang terdiam tepat di sampingku. Entah apakah ia mengetahui mengenai Aydelmn tersebut atau tidak, tetapi aku merasakan ketakutan yang sama dengan yang aku rasakan. Hening dan lebih hening dari sebelumnya, tidak ada satupun yang berbicara, takut dan sangat takut dirasakan oleh kami semua. Dan tentu saja kami menyadari bahwa sesuatu akan datang ke desa kami ini.


Don't forget to check my English version in http://thebladeofaldae.blogspot.com/

1 komentar:

  1. jangan lupa bikin garis pembatas untuk pisahin malam sama pagi, terus kakaknya Getta atau Getto?

    BalasHapus