Burung-
burung mulai menyanyi dan menari. Matahari terbangun dari tidurnya dan
menyinari setiap sudut Eldewein. Anak-anak muda telah siap untuk berangkat
menuju perguruannya masing-masing. Kesibukan kota ini benar-benar membuatku
terjaga dan terbangun dari mimpi buruk yang baru saja terjadi. Aku merasa
sangat tidak nyaman dipenuhi oleh keringat yang membasahi tubuhku ini. Ini
merupakan kali ke dua dalam minggu ini aku mengalami mimpi buruk yang serupa.
Sejak kepergianku setahun silam meninggalkan Tummerfall, aku memang seringkali
mengalami mimpi-mimpi buruk mengenai pembantaian di desa kelahiranku tersebut,
juga mengenai ayah dan kakakku.
Aku segera
membuka bajuku yang dipenuhi oleh keringat lalu mencuci muka melalui air yang
ditampung di sebuah bak yang terdapat di kamar mandi tepat disebelah kamarku.
Kejadian di Tummerfall masih terus mengiangi pikiranku. Aku terus berusaha
mempercayai bahwa ayah dan Getto pasti masih menungguku di suatu tempat, suatu
saat pasti kita akan bertemu kembali.
Setelah
memakai kaos dan mantel tebalku, aku segera keluar dari Panville, tempat yang
memang disediakan oleh pemerintah kota sebagai tempat tinggal para pekerja
rendah sepertiku, dan berjalan menyisiri kota menikmati dingin di pagi hari
ini. Eldewein berada di bagian atas Aldae, sehingga memiliki iklim yang lebih
dingin. Kemapaman serta pola pendidikan yang lebih tinggi pun membuat kota ini
bergerak lebih cepat dari Tummerfall dan kebanyakan daerah di bagian Barat
Aldae. Bahkan mereka memiliki beberapa alat yang belum pernah kulihat. Semenjak
aku pindah ke sini, aku bekerja di industri tekstil milik Penetro Helevas, The
Helevas’ . Di sana terdapat sebuah alat yang dapat membantu pembuatan tekstil
dengan bahan sangat tebal atau kaku, seperti bahan-bahan dari kulit rusa
pegunungan Belvine atau kulit kepala badak bercula tiga Melden. Tentu saja aku
tidak pernah melihat alat seperti ini sebelumnya di Tummerfall.
Hari Minggu
merupakan hari libur yang diberikan oleh Helevas kepada pegawainya, sehingga
aku pun bisa bebas melakukan apa saja yang aku mau. Melewati jalan kota yang
berbatuan, aku terus berjalan menuju Utara melewati kedai roti Simpras Amoer
dan Pasar Kota Eldewein. Di akhir minggu seperti ini, pasar kota memang selalu
disesaki oleh para konsumen, bahkan tak jarang para pendatang pun ikut
meramaikan untuk melakukan jual beli terhadap sesama mereka maupun para
penduduk kota. Falkie dan Torre, yang merupakan tetangga sebelah kamarku
terlihat sangat sibuk melayani para konsumen yang saling berdesak-desakkan
untuk mendapatkan perhiasan-perhiasan buatan mereka yang terbatas. Untuk hari
Minggu, bahkan mereka selalu menyediakan sebuah perhiasan mahal untuk dilelang,
yang memang secara khusus mereka buat. Saat aku melewati tempat dagangan mereka,
mereka tersenyum dan berkata hampir bersamaan,
“Hai Len,
bagaimana kalau nanti malam kita berkunjung ke tempat Dowey ?”
“Haha,
sepertinya kalian berdua sedang mendapatkan untung banyak nih.”, jawabku.
“Untuk nanti malam aku akan memberi kabar lagi kalau aku bisa, okay ?”
“Ayolah,
kau tidak mungkin memiliki kesibukan di hari minggu, apa yang akan kau lakukan
?”, sambung Falkie dengan raut muka kecewa khasnya, alis dinaikkan dan mulut
yang tidak dapat menutup.
“Selalu ada
sesuatu yang tidak tertuga.”, jawabku sedikit lalu meninggalkan mereka dan
berjalan menuju Bar of Housebrew yang terdapat di sebelah kiri pasar.
Ruangan di
dalam bar memang terasa hangat tidak seperti di luar, mungkin karena pengaruh
penghangat tua yang berada di tengah-tengah ruangan, sebuah tungku besar yang
ditutupi oleh penutup besar berbentuk setengah oval yang terbuat dari besi
dengan beberapa lobang di bagian tengahnya. Kondisi di dalam bar sepertinya
berbeda dengan keadaan pasar sebelumnya, meski hari Minggu kerap dikunjungi
oleh pengunjung, tetapi hari ini terlihat cukup sepi. Selain aku, hanya
terdapat Berde Housebrew, sang pemilik, para pegawainya, Norman, Auldie, dan
Benedith, Herman Screwberk dan Jensee Polkee, para ksatria, seorang pedagang
tua, dan seseorang dengan jubah coklatnya.
Aku segera
meghampiri Auldie dan duduk di kursi tinggi bar yang kosong. Aku meminta sebuah
Palmen Beer untuk menghangatkan dinginnya hari ini. Auldie terlihat seperti
biasanya, memakai baju terusan selutut yang tipis lalu dilapisi kembali dengan
celemek pink khasnya, serta dengan rambut digerai seadanya. Lalu ia membawakan
sebuah gelas dan sebotol Palmen Beer kepadaku.
“Ada berita
apa hari ini ? Tidak biasanya bar sesepi ini.”, ucapku memulai pembicaraan
sambil menuangkan Palmen Beer ke gelas dan menenggaknya sekali.
“Tidak ada
masalah, hanya ketidakberuntungan semata. Aku malah mendengar gosip dari
perguruan Aldwein. Apakah kamu sudah mendengar mengenai pertengkaran antara
Taum dan Balas Screwberk, ehem….”, dia mengecilkan sedikit suaranya lalu
melanjutkan. “Bahkan kedua orang itu sedang membicarakan hal ini sekarang.”,
ucapnya sambil melirik ke arah Herman dan Jensee.
“Apakah ada
masalah di Aldwein ?”
“Hmm
sepertinya ada yang belum tahu. Sejak dikirim dari Perguruan Pusat Raftheim,
Taum tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengan Keluarga Screwberk. Dan
kau tahu Keluarga Screwberk memiliki pengaruh yang besar di dalam perguruan.
Tetapi masalahnya Taum merupakan utusan dari perguruan pusat, jadi mereka tidak
dapat melakukan apapun.”
“Tentu
saja, itu sudah menjadi berita umum di antara para penduduk. Tapi jika sampai
ada pertengkaran berarti ada yang berbeda sekarang.”
“Ya, diduga
Taum mulai berani melakukan perubahan di dalam peraturan. Bagi dia salah satu
alasan kenapa para ksatria Eldewein lemah adalah karena mereka tidak
mendapatkan tempaan mental yang sesuai sejak mereka masih di perguruan.”,
ucapnya sambil kembali melirik ke arah Herman dan Jesse, takut pembicaraan kita
terdengar oleh mereka. “Tapi kamu tahu, yang terakhir melakukan perubahan
peraturan adalah Vender Screwberk, dan itu terjadi kurang lebih 70 tahun yang
lalu.”
“Oh, jadi
wajar kalau Keluarga Screwberk tidak suka dengan apa yang dilakukan Taum. Wah
sepertinya kamu sungguh tahu banyak ya, Auld.”
“Tentu
saja, semua berita dapat kamu temukan di tempat ini, semua orang datang ke bar
dan telingaku selalu terbuka untuk mendengar.”, sambungnya dengan tertawa
kecil. ”Lalu bagaimana kabar mengenai kulit-kulit rusa Belvine-mu ?”
Aku
terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba dia ajukan,”Wow, bahkan kamu tahu
mengenai hal itu, di luar the Helevas’ seharusnya tidak seorang pun tahu. Well,
bagaimanapun kulit-kulit itu tidak akan dijual secara bebas, mereka sudah
dibeli secara khusus oleh instansi pertahanan kota, The Yarld untuk pembentukan
pasukan khusus.”
“Pasukan
khusus ? Wah tak dapat kubayangkan berapa banyak goldens yang akan kalian dapat. Tapi itu bukan urusanku, silakan
menikmati minumanmu kembali.”, ucapnya seraya meninggalkanku menuju pengunjung
yang baru saja datang.
Satu gelas
terakhir langsung kuhabiskan. Palmen Beer benar-benar telah menghangatkan
tubuhku. Saat aku sedang melihat sekitar, aku baru menyadari kalau sejak tadi
telah terjadi percekcokan antara Herman dengan orang berjubah tersebut. Herman
sepertinya sudah tidak dapat mengontrol dirinya setelah minum begitu banyak, ia
terus mengumpat orang itu dengan kasar,
“Hai
jawablah! Apa yang kau lakukan di sini, tak perlu aku mengulang terus
kata-kataku!”
Orang itu
bahkan tidak mengindahkan Herman sama sekali. Dia terus menikmati dua buah pie
yang ada di mejanya. Dan sepertinya Herman sudah benar-benar kehilangan
kesadarannya, ia memukul meja dan menghempaskan sepiring pie tersebut ke lantai.
“Kau kira
aku main-main, Hah !”, umpatnya kembali.
Sebelum
segala sesuatu semakin tak terkendali, Jensee yang sepertinya masih sadar
segera menarik Herman mundur dan membawanya keluar dari bar.
“Masukkan
ke daftar bayarku, nanti malam akan kubayar.”, teriak Jensee kepada Berde
seraya menyeret Herman meninggalkan bar.
Sungguh
pemandangan yang mengejutkan, semua orang memperhatikan kejadian tersebut.
Beruntung Jensee masih sadar, kalau tidak, mungkin tidak ada yang dapat melerai
kejadian itu. Untuk menenangkan orang berjubah tersebut, aku segera
menghampirinya.
“Wah,
sungguh tidak perlu kau pikirkan kejadian tadi.”, ucapku mendinginkan suasana
yang baru saja terjadi. “Jangan bosan untuk datang ke Eldewein. Dan ngomong-ngomong
sedang apa kau di kota ini kalau aku boleh tahu?”
Dia
melirikku sedikit, lalu menjawab,” Apakah semua orang di Eldewein begitu
pedulinya dengan urusan orang lain?”
“Oh bukan
begitu maksudku, hmm… tentu saja kau tidak perlu menjawabnya kalu tidak mau.”
Suasana
langsung hening di antara kami sebelum akhirnya ia memecahkannya dengan berkata
terlebih dulu,
“Sesaat
tadi aku mendengar percakapan kau dengan pelayan bar di sana.”, ucapnya sambil
melirik ke arah meja bar di mana aku duduk tadi. “Apakah kamu sungguh memiliki
kulit rusa Belvine?”
Sekali lagi
aku terkejut. “Ti, tidak. Hmm… maksudku ya, kami punya, tapi bukan untuk
dijual, maksudku kulit-kulit itu sudah habis terjual sebenarnya.”, jawabku
dengan terbata-bata akibat kaget oleh pertanyaannya tersebut.
“Hmm sungguh kau tidak dapat mengusahakan satu
lembar kulit saja untukku? Kurasa 1000 goldens cukup, bukankah begitu?”
Untuk
kesekian kalinya aku terkejut. 1000 goldens? Sungguh? Bahkan The Yarld membayar
setiap lembarnya hanya dengan 600 goldens, tapi ia menawarkan hampir dua kali
lipatnya.
“Bagaimana
kalau 1500 goldens?”, tawarnya tiba-tiba saat aku terdiam di dalam
kebingunganku.
Mulutku
bahkan tidak dapat tertutup kini akibat ucapannya itu. “Te, tentu saja itu…
merupakan tawaran yang sangat baik, tapi…”
“Hanya kita
berdua yang tahu. Tak ada orang yang akan menyadari saat hanya kehilangan satu
lembar.”
Aku menarik
napas panjang dan menghembuskannya sambil memegang kepalaku. “Baik aku terima
tawaranmu.” Kini aku benar-benar merasa bersalah dengan The Helevas’. “Tapi
minimal aku harus tahu dengan siapa aku bertransaksi, karena itu cara kerjaku.”
“Qevara.
Kita bertemu besok pagi pukul 06.00 di depan penginapan Oprette. Satu lembar dan
kamu akan mendapatkan 1500 goldens, deal ?”
“Baik, jam
6 pagi.” Aku kembali menarik nafas sangat panjang, lalu berdiri meninggalkannya
dan keluar dari Bar of Housebrew.
Aku
benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang baru saja kulakukan. Kalau
Penetro sampai tahu, pasti aku akan benar-benar mati. Dengan penuh perasaan
bersalah aku berjalan menuju Kuil Delvine dimana Joanna tinggal. Beda denganku
yang semenjak singgah di Eldewein bekerja di The Helevas, Joanna memilih untuk
mengabdikan dirinya di Kuil Delvine. Ia lebih memilih untuk melakukan kerja sosial
untuk menyembuhkan orang yang terluka maupun melakukan doa perlindungan
terhadap dewi kasih saying, Delvine untuk melindungi para penduduk kota. Kuil
Delvine berada tepat diujung pertigaan pasar kota, sehingga aku tinggal
berjalan lurus dari bar. Perlahan tapi pasti dan penuh dengan rasa bersalah aku
sampai di depan pintu kayu besar kuil.
Setelah
masuk dengan sangat pelan, aku langsung melihat Joanna, yang terlihat cantik
dengan gaun putih panjangnya dan rambut pirangnya yang diikat, sedang berdiri menemani
Ibu Ledean Threna yang sedang berlutut dan berdoa menghadap patung besar
Delvine. Aku menunggu sebentar hingga mereka selesai berdoa. Lalu aku berbisik
memanggil Joanna dari belakang, karena tidak ingin mengganggu ketenangan kuil.
Joanna menengok ke arahku, lalu tersenyum dengan manisnya dan meminta izin
kepada Ibu Ledean untuk menghampiriku. Sambil tersenyum ke arahku, Ibu Ledean
tentu saja mengizinkannya menemuiku, sebelum kemudian dia pergi menuju ruangan
di sebelah kiri patung.
Sambil
berjalan dengan anggunnya ke arahku, dia bertanya dengan suara halusnya,”
Bagaimana kabar kamu hari ini? Sepertinya kamu sedang ada masalah.”
Aku tertawa
kecil. Bagaimana dia dapat membaca pikiranku? Tapi aku tidak ingin ia tahu apa
yang sedang aku lakukan sekarang, karena ia pasti tidak akan setuju. “Aku hanya
terlalu banyak minum tadi di bar. Tidak perlu kamu pikirkan.”
Lalu ia
duduk di sebuah kursi kayu di antara dua lemari buku di sebelah kanan pintu.
“Sini Len.”,
panggilnya dan memintaku untuk duduk di lantai di depan ia duduk. Setelah aku
duduk sambil menyenderkan diri di kedua kakinya, ia memulai memijat kepalaku
dengan sangat lembut. Oh sungguh enak rasanya, rasanya semua pikiran yang ada
di kepalaku benar-benar lepas untuk sesaat. Kemudia ia berkata,” Kamu tidak
perlu memberitahunya sekarang kok kalau kamu memang tidak mau.”
Aku tidak
dapat melihat mukanya tapi aku tahu kalau ia tersenyum. Lalu aku memegang kedua
tangannya yang sedang memijitku, kemudian aku taruh di atas pundakku dan
kutarik tubuhnya memelukku dari belakang. “Aku pasti akan memberitahumu, pasti.”,
ucapku pelan.
“Aku selalu
percaya kamu kok, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah kok padaku.”, jawabnya
lembut seraya mengencangkan pelukannya dari belakang sambil menyenderkan
kepalanya di bagian belakang kepalaku.
Tentu saja
aku akan selalu merasa bersalah setiap kali aku menyembunyikan sesuatu darinya.
Ia selalu berusaha untuk membuatku merasa tidak bersalah, dan tentu saja itu
hanya akan membuatku semakin bersalah kepadanya. Tetapi setiap hal itu terjadi,
aku selalu dibuat lega olehnya dan tidak ingin pergi jauh darinya.
Ia kembali
melakukan pijitan di kepalaku, berusaha menghilangkan seluruh rasa lelah dan
penat yang kurasakan. Rasa nyaman yang ia berikan tak terasa membuatku
tertidur. Sambil tersenyum, ia tetap melanjutkan pijitannya di kepalaku meski
tahu aku telah tertidur bersender di kedua kaki putihnya yang halus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar