Sabtu, 07 Januari 2012

Episode 1 - Eldewein -- I


Burung- burung mulai menyanyi dan menari. Matahari terbangun dari tidurnya dan menyinari setiap sudut Eldewein. Anak-anak muda telah siap untuk berangkat menuju perguruannya masing-masing. Kesibukan kota ini benar-benar membuatku terjaga dan terbangun dari mimpi buruk yang baru saja terjadi. Aku merasa sangat tidak nyaman dipenuhi oleh keringat yang membasahi tubuhku ini. Ini merupakan kali ke dua dalam minggu ini aku mengalami mimpi buruk yang serupa. Sejak kepergianku setahun silam meninggalkan Tummerfall, aku memang seringkali mengalami mimpi-mimpi buruk mengenai pembantaian di desa kelahiranku tersebut, juga mengenai ayah dan kakakku.

Aku segera membuka bajuku yang dipenuhi oleh keringat lalu mencuci muka melalui air yang ditampung di sebuah bak yang terdapat di kamar mandi tepat disebelah kamarku. Kejadian di Tummerfall masih terus mengiangi pikiranku. Aku terus berusaha mempercayai bahwa ayah dan Getto pasti masih menungguku di suatu tempat, suatu saat pasti kita akan bertemu kembali.

Setelah memakai kaos dan mantel tebalku, aku segera keluar dari Panville, tempat yang memang disediakan oleh pemerintah kota sebagai tempat tinggal para pekerja rendah sepertiku, dan berjalan menyisiri kota menikmati dingin di pagi hari ini. Eldewein berada di bagian atas Aldae, sehingga memiliki iklim yang lebih dingin. Kemapaman serta pola pendidikan yang lebih tinggi pun membuat kota ini bergerak lebih cepat dari Tummerfall dan kebanyakan daerah di bagian Barat Aldae. Bahkan mereka memiliki beberapa alat yang belum pernah kulihat. Semenjak aku pindah ke sini, aku bekerja di industri tekstil milik Penetro Helevas, The Helevas’ . Di sana terdapat sebuah alat yang dapat membantu pembuatan tekstil dengan bahan sangat tebal atau kaku, seperti bahan-bahan dari kulit rusa pegunungan Belvine atau kulit kepala badak bercula tiga Melden. Tentu saja aku tidak pernah melihat alat seperti ini sebelumnya di Tummerfall.

Hari Minggu merupakan hari libur yang diberikan oleh Helevas kepada pegawainya, sehingga aku pun bisa bebas melakukan apa saja yang aku mau. Melewati jalan kota yang berbatuan, aku terus berjalan menuju Utara melewati kedai roti Simpras Amoer dan Pasar Kota Eldewein. Di akhir minggu seperti ini, pasar kota memang selalu disesaki oleh para konsumen, bahkan tak jarang para pendatang pun ikut meramaikan untuk melakukan jual beli terhadap sesama mereka maupun para penduduk kota. Falkie dan Torre, yang merupakan tetangga sebelah kamarku terlihat sangat sibuk melayani para konsumen yang saling berdesak-desakkan untuk mendapatkan perhiasan-perhiasan buatan mereka yang terbatas. Untuk hari Minggu, bahkan mereka selalu menyediakan sebuah perhiasan mahal untuk dilelang, yang memang secara khusus mereka buat. Saat aku melewati tempat dagangan mereka, mereka tersenyum dan berkata hampir bersamaan,

“Hai Len, bagaimana kalau nanti malam kita berkunjung ke tempat Dowey ?”

“Haha, sepertinya kalian berdua sedang mendapatkan untung banyak nih.”, jawabku. “Untuk nanti malam aku akan memberi kabar lagi kalau aku bisa, okay ?”

“Ayolah, kau tidak mungkin memiliki kesibukan di hari minggu, apa yang akan kau lakukan ?”, sambung Falkie dengan raut muka kecewa khasnya, alis dinaikkan dan mulut yang tidak dapat menutup.

“Selalu ada sesuatu yang tidak tertuga.”, jawabku sedikit lalu meninggalkan mereka dan berjalan menuju Bar of Housebrew yang terdapat di sebelah kiri pasar.

Ruangan di dalam bar memang terasa hangat tidak seperti di luar, mungkin karena pengaruh penghangat tua yang berada di tengah-tengah ruangan, sebuah tungku besar yang ditutupi oleh penutup besar berbentuk setengah oval yang terbuat dari besi dengan beberapa lobang di bagian tengahnya. Kondisi di dalam bar sepertinya berbeda dengan keadaan pasar sebelumnya, meski hari Minggu kerap dikunjungi oleh pengunjung, tetapi hari ini terlihat cukup sepi. Selain aku, hanya terdapat Berde Housebrew, sang pemilik, para pegawainya, Norman, Auldie, dan Benedith, Herman Screwberk dan Jensee Polkee, para ksatria, seorang pedagang tua, dan seseorang dengan jubah coklatnya.

Aku segera meghampiri Auldie dan duduk di kursi tinggi bar yang kosong. Aku meminta sebuah Palmen Beer untuk menghangatkan dinginnya hari ini. Auldie terlihat seperti biasanya, memakai baju terusan selutut yang tipis lalu dilapisi kembali dengan celemek pink khasnya, serta dengan rambut digerai seadanya. Lalu ia membawakan sebuah gelas dan sebotol Palmen Beer kepadaku.

“Ada berita apa hari ini ? Tidak biasanya bar sesepi ini.”, ucapku memulai pembicaraan sambil menuangkan Palmen Beer ke gelas dan menenggaknya sekali.

“Tidak ada masalah, hanya ketidakberuntungan semata. Aku malah mendengar gosip dari perguruan Aldwein. Apakah kamu sudah mendengar mengenai pertengkaran antara Taum dan Balas Screwberk, ehem….”, dia mengecilkan sedikit suaranya lalu melanjutkan. “Bahkan kedua orang itu sedang membicarakan hal ini sekarang.”, ucapnya sambil melirik ke arah Herman dan Jensee.

“Apakah ada masalah di Aldwein ?”

“Hmm sepertinya ada yang belum tahu. Sejak dikirim dari Perguruan Pusat Raftheim, Taum tidak pernah memiliki hubungan yang baik dengan Keluarga Screwberk. Dan kau tahu Keluarga Screwberk memiliki pengaruh yang besar di dalam perguruan. Tetapi masalahnya Taum merupakan utusan dari perguruan pusat, jadi mereka tidak dapat melakukan apapun.”

“Tentu saja, itu sudah menjadi berita umum di antara para penduduk. Tapi jika sampai ada pertengkaran berarti ada yang berbeda sekarang.”

“Ya, diduga Taum mulai berani melakukan perubahan di dalam peraturan. Bagi dia salah satu alasan kenapa para ksatria Eldewein lemah adalah karena mereka tidak mendapatkan tempaan mental yang sesuai sejak mereka masih di perguruan.”, ucapnya sambil kembali melirik ke arah Herman dan Jesse, takut pembicaraan kita terdengar oleh mereka. “Tapi kamu tahu, yang terakhir melakukan perubahan peraturan adalah Vender Screwberk, dan itu terjadi kurang lebih 70 tahun yang lalu.”

“Oh, jadi wajar kalau Keluarga Screwberk tidak suka dengan apa yang dilakukan Taum. Wah sepertinya kamu sungguh tahu banyak ya, Auld.”

“Tentu saja, semua berita dapat kamu temukan di tempat ini, semua orang datang ke bar dan telingaku selalu terbuka untuk mendengar.”, sambungnya dengan tertawa kecil. ”Lalu bagaimana kabar mengenai kulit-kulit rusa Belvine-mu ?”

Aku terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba dia ajukan,”Wow, bahkan kamu tahu mengenai hal itu, di luar the Helevas’ seharusnya tidak seorang pun tahu. Well, bagaimanapun kulit-kulit itu tidak akan dijual secara bebas, mereka sudah dibeli secara khusus oleh instansi pertahanan kota, The Yarld untuk pembentukan pasukan khusus.”

“Pasukan khusus ? Wah tak dapat kubayangkan berapa banyak goldens yang akan kalian dapat. Tapi itu bukan urusanku, silakan menikmati minumanmu kembali.”, ucapnya seraya meninggalkanku menuju pengunjung yang baru saja datang.

Satu gelas terakhir langsung kuhabiskan. Palmen Beer benar-benar telah menghangatkan tubuhku. Saat aku sedang melihat sekitar, aku baru menyadari kalau sejak tadi telah terjadi percekcokan antara Herman dengan orang berjubah tersebut. Herman sepertinya sudah tidak dapat mengontrol dirinya setelah minum begitu banyak, ia terus mengumpat orang itu dengan kasar,

“Hai jawablah! Apa yang kau lakukan di sini, tak perlu aku mengulang terus kata-kataku!”

Orang itu bahkan tidak mengindahkan Herman sama sekali. Dia terus menikmati dua buah pie yang ada di mejanya. Dan sepertinya Herman sudah benar-benar kehilangan kesadarannya, ia memukul meja dan menghempaskan sepiring pie tersebut ke lantai.

“Kau kira aku main-main, Hah !”, umpatnya kembali.

Sebelum segala sesuatu semakin tak terkendali, Jensee yang sepertinya masih sadar segera menarik Herman mundur dan membawanya keluar dari bar.

“Masukkan ke daftar bayarku, nanti malam akan kubayar.”, teriak Jensee kepada Berde seraya menyeret Herman meninggalkan bar.

Sungguh pemandangan yang mengejutkan, semua orang memperhatikan kejadian tersebut. Beruntung Jensee masih sadar, kalau tidak, mungkin tidak ada yang dapat melerai kejadian itu. Untuk menenangkan orang berjubah tersebut, aku segera menghampirinya.

“Wah, sungguh tidak perlu kau pikirkan kejadian tadi.”, ucapku mendinginkan suasana yang baru saja terjadi. “Jangan bosan untuk datang ke Eldewein. Dan ngomong-ngomong sedang apa kau di kota ini kalau aku boleh tahu?”

Dia melirikku sedikit, lalu menjawab,” Apakah semua orang di Eldewein begitu pedulinya dengan urusan orang lain?”

“Oh bukan begitu maksudku, hmm… tentu saja kau tidak perlu menjawabnya kalu tidak mau.”

Suasana langsung hening di antara kami sebelum akhirnya ia memecahkannya dengan berkata terlebih dulu,

“Sesaat tadi aku mendengar percakapan kau dengan pelayan bar di sana.”, ucapnya sambil melirik ke arah meja bar di mana aku duduk tadi. “Apakah kamu sungguh memiliki kulit rusa Belvine?”

Sekali lagi aku terkejut. “Ti, tidak. Hmm… maksudku ya, kami punya, tapi bukan untuk dijual, maksudku kulit-kulit itu sudah habis terjual sebenarnya.”, jawabku dengan terbata-bata akibat kaget oleh pertanyaannya tersebut.

 “Hmm sungguh kau tidak dapat mengusahakan satu lembar kulit saja untukku? Kurasa 1000 goldens cukup, bukankah begitu?”

Untuk kesekian kalinya aku terkejut. 1000 goldens? Sungguh? Bahkan The Yarld membayar setiap lembarnya hanya dengan 600 goldens, tapi ia menawarkan hampir dua kali lipatnya.

“Bagaimana kalau 1500 goldens?”, tawarnya tiba-tiba saat aku terdiam di dalam kebingunganku.

Mulutku bahkan tidak dapat tertutup kini akibat ucapannya itu. “Te, tentu saja itu… merupakan tawaran yang sangat baik, tapi…”

“Hanya kita berdua yang tahu. Tak ada orang yang akan menyadari saat hanya kehilangan satu lembar.”

Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya sambil memegang kepalaku. “Baik aku terima tawaranmu.” Kini aku benar-benar merasa bersalah dengan The Helevas’. “Tapi minimal aku harus tahu dengan siapa aku bertransaksi, karena itu cara kerjaku.”

“Qevara. Kita bertemu besok pagi pukul 06.00 di depan penginapan Oprette. Satu lembar dan kamu akan mendapatkan 1500 goldens, deal ?”

“Baik, jam 6 pagi.” Aku kembali menarik nafas sangat panjang, lalu berdiri meninggalkannya dan keluar dari Bar of Housebrew.

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang baru saja kulakukan. Kalau Penetro sampai tahu, pasti aku akan benar-benar mati. Dengan penuh perasaan bersalah aku berjalan menuju Kuil Delvine dimana Joanna tinggal. Beda denganku yang semenjak singgah di Eldewein bekerja di The Helevas, Joanna memilih untuk mengabdikan dirinya di Kuil Delvine. Ia lebih memilih untuk melakukan kerja sosial untuk menyembuhkan orang yang terluka maupun melakukan doa perlindungan terhadap dewi kasih saying, Delvine untuk melindungi para penduduk kota. Kuil Delvine berada tepat diujung pertigaan pasar kota, sehingga aku tinggal berjalan lurus dari bar. Perlahan tapi pasti dan penuh dengan rasa bersalah aku sampai di depan pintu kayu besar kuil.

Setelah masuk dengan sangat pelan, aku langsung melihat Joanna, yang terlihat cantik dengan gaun putih panjangnya dan rambut pirangnya yang diikat, sedang berdiri menemani Ibu Ledean Threna yang sedang berlutut dan berdoa menghadap patung besar Delvine. Aku menunggu sebentar hingga mereka selesai berdoa. Lalu aku berbisik memanggil Joanna dari belakang, karena tidak ingin mengganggu ketenangan kuil. Joanna menengok ke arahku, lalu tersenyum dengan manisnya dan meminta izin kepada Ibu Ledean untuk menghampiriku. Sambil tersenyum ke arahku, Ibu Ledean tentu saja mengizinkannya menemuiku, sebelum kemudian dia pergi menuju ruangan di sebelah kiri patung.

Sambil berjalan dengan anggunnya ke arahku, dia bertanya dengan suara halusnya,” Bagaimana kabar kamu hari ini? Sepertinya kamu sedang ada masalah.”

Aku tertawa kecil. Bagaimana dia dapat membaca pikiranku? Tapi aku tidak ingin ia tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang, karena ia pasti tidak akan setuju. “Aku hanya terlalu banyak minum tadi di bar. Tidak perlu kamu pikirkan.”

Lalu ia duduk di sebuah kursi kayu di antara dua lemari buku di sebelah kanan pintu.

“Sini Len.”, panggilnya dan memintaku untuk duduk di lantai di depan ia duduk. Setelah aku duduk sambil menyenderkan diri di kedua kakinya, ia memulai memijat kepalaku dengan sangat lembut. Oh sungguh enak rasanya, rasanya semua pikiran yang ada di kepalaku benar-benar lepas untuk sesaat. Kemudia ia berkata,” Kamu tidak perlu memberitahunya sekarang kok kalau kamu memang tidak mau.”

Aku tidak dapat melihat mukanya tapi aku tahu kalau ia tersenyum. Lalu aku memegang kedua tangannya yang sedang memijitku, kemudian aku taruh di atas pundakku dan kutarik tubuhnya memelukku dari belakang. “Aku pasti akan memberitahumu, pasti.”, ucapku pelan.

“Aku selalu percaya kamu kok, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah kok padaku.”, jawabnya lembut seraya mengencangkan pelukannya dari belakang sambil menyenderkan kepalanya di bagian belakang kepalaku.

Tentu saja aku akan selalu merasa bersalah setiap kali aku menyembunyikan sesuatu darinya. Ia selalu berusaha untuk membuatku merasa tidak bersalah, dan tentu saja itu hanya akan membuatku semakin bersalah kepadanya. Tetapi setiap hal itu terjadi, aku selalu dibuat lega olehnya dan tidak ingin pergi jauh darinya.

Ia kembali melakukan pijitan di kepalaku, berusaha menghilangkan seluruh rasa lelah dan penat yang kurasakan. Rasa nyaman yang ia berikan tak terasa membuatku tertidur. Sambil tersenyum, ia tetap melanjutkan pijitannya di kepalaku meski tahu aku telah tertidur bersender di kedua kaki putihnya yang halus.                     

Rabu, 04 Januari 2012

The Blade of Aldae


Prolog - II


Keadaan desa tidak seperti hari-hari biasanya. Para penduduk bangun sangat pagi bukan untuk menyiapkan dagangan atau memandikan ternaknya, melainkan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sosok yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Kecemasan terlukis di wajah setiap penduduk, termasuk Joanna dan ibunya, Ketlen yang sejak tadi terlihat berjalan kesana kemari tanpa tujuan.

Aku menghampiri dan berusaha memecah kecemasan mereka,”Hai Jo, tidak siap-siap untuk buka toko, nanti semua pembeli bingung lho.”

Tiba-tiba dia menatapku dengan tajam,”Masih ada waktu memang ya untuk becanda.”, sambil memalingkan muka dan menarik nafas dia melanjutkan,”Seharusnya kamu merasa khawatir untuk dirimu sendiri sebelum memikirkan orang lain.”

Aku hanya tersenyum, karena aku sudah tahu dia akan menjawab sedingin itu. Kami lahir di tahun yang sama dan besar bersama di lingkungan ini, dan tentu saja aku tahu bahwa dia akan menjawab ucapanku seperti itu.

“Tetaplah di rumah, jangan biarkan seorangpun masuk nanti malam.”, jawabku dengan senyum.

“Kamu yang harusnya berpikir seperti itu.Bukankah ayahmu tidak mengizinkanmu untuk ikut bertarung nanti malam. Seharusnya kamu dan Ferren malu, hanya kalian berdua pria yang tidak ikut turun untuk bertarung nanti malam.”

“Huff, aku tidak menyangka kamu akan sedingin itu, kalau ayahku mengizinkan, pasti aku sudah menjadi yang terdepan nanti malam.”, aku sudah tidak dapat tersenyum. “Selamat pagi Nyonya Ketlen.”, sapaku ke Nyonya Ketlen sekaligus pergi meninggalkan mereka. Jelas terlihat wajahnya yang merasa tidak nyaman setelah melihat perkelahian kecil antara aku dan anaknya.

Saat berjalan kembali ke arah ayah, aku melihat Hereff dan Getto datang menghampiri kami. Ayah langsung berdiri dan menunduk hormat kepada Hereff, tanda yang kerap diperlihatkan untuk menghormati orang yang lebih tua dan berpengalaman. Usia mereka terpaut 10 tahun jauhnya, tetapi Hereff memilih jalan yang berbeda dengan ayah, dia memilih untuk tidak menikah dan menjalani hidupnya sendiri. Tidak ada satupun dari penduduk Tummerfall yang mengetahui alasan di balik keputusannya tersebut.

“Saya rasa Getto sudah siap, dia telah memilih senjata yang akan ia bawa nanti malam. Pastikan saja ia tidak menghilangkannya, pedang ini adalah pemberian pamanku.”, ucap Hereff kepada ayah.

Ya, Getto memang bangun lebih dahulu dariku untuk pergi ke rumah Hereff. Di rumah kami tidak ada senjata yang dipersiapkan untuk bertarung, sehingga ayah dan Getto harus meminjamnya dari penduduk lain. Pada saat Getto harus meminjam, ayah telah terlebih dahulu memiliki senjata setelah ia diberikan oleh Bapak Avenicus tadi malam. Sebuah pedang tua yang sudah cukup lama disimpannya di dalam kuil, ia mempercayakannya kepada ayah.

Ayah hanya tersenyum,”Kita pastikan saja tidak ada dari kita yang hilang nanti malam.”

Hereff menjawabnya dengan tertawa kecil,”Ya, pastikan saja kita bertarung dengan seluruh kemampuan kita, kita tidak akan tahu sosok apa yang harus kita hadapi.”

“Hmm, apakah kamu sudah siap, Getto ?”, sambung ayah sambil bertanya ke arah Getto.

“Lebih dari siap, tidak, maksudku memang aku harus siap untuk apapun yang terjadi.”, jawabnya.

Lalu ayah memalingkan wajahnya ke arahku, ia tersenyum kecil dan berkata,”Selalu jadilah pemberani, kelak kau akan menjadi pahlawan untuk dirimu dan orang di sekelilingmu dengan kepercayaan diri yang kamu miliki.”

Aku benar-benar tidak dapat melihat wajahnya, lalu Getto menyambungnya,”Kamu memang tidak pernah menjadi adik yang menyenangkan, tetapi kamu tetaplah saudaraku yang paling kusayang. Ingatlah kata-kata itu, aku tidak ingin mengucapkannya dua kali.”

Aku tidak dapat menyembunyikan ketakutan dan kesedihanku kali ini. ”Kalian akan balik ke rumah kan setelah nanti malam ?!”, entah petanyaan atau pernyataan yang kukatakan kepada mereka.

Mereka hanya tersenyum dan bersama Hereff mereka berjalan menjauh menuju Kuil  Ethyre. Di sanalah tempat para penduduk yang akan bertarung nanti malam berkumpul. Dua jam kemudian, Hereff keluar dari kuil dan menyuruh para penduduk yang lain untuk masuk ke dalam rumahnya masing-masing dan tidak pernah keluar sampai esok pagi. Di sini aku menyadari, jika ayah dan Getto tidak muncul esok pagi, maka mereka tidak akan pernah kembali. Saat ini lah aku mengawali penungguanku akan kehadiran mereka dengan penuh ketakutan dan kekhawatiran dimulai.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku berdiri dan berjalan mundur sambil tetap menatap pintu kayu tua yang ada di depanku tersebut. Keringat dingin terus mengucur dengan derasnya, rasa takut yang tidak dapat aku jelaskan menyelimuti segala pikiranku. Sesuatu akan memasuki rumahku, dan aku tidak tahu harus lari kemana. Langkah itu semakin terdengar keras di telingaku, semakin dekat menghampiri pintu rumahku. Penglihatanku semakin tidak jelas akibat air mata dan keringat yang memedihkan mataku. Aku tahu ada sesuatu yang mulai memegang gagang pintuku dari bagian luar. Tiba-tiba pintu itu terdorong ke arah dalam dan terbuka begitu saja. Kakiku kehilangan tenaganya seketika, dan aku jatuh terduduk menatap sosok yang berdiri di hadapanku tersebut.

“Leon, tolong aku, kita harus pergi dari sini.”, sosok itu berkata kepadaku dengan penuh rasa sakit dan takut, lalu ia terjatuh.

Aku mengusap mataku, kini aku dapat melihat jelas bahwa Joanna lah yang telah memasuki rumahku. Aku sedikit lega, meskipun rasa takut masih sangat menyelimuti pikiranku. Andai saja itu bukan Joanna, mungkin aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan diriku.

Joanna terlihat sangat tidak bertenaga dan tergeletak lemas di hadapanku. Warna merah darah mewarnai gaun tidur putihnya yang masih ia pakai sejak tadi pagi. Sebelum aku sempat bertanya apa yang telah terjadi, ia lebih dahulu berkata,

“Mereka membunuh ibuku. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali dan menemukan kita.”

Apa yang sebenarnya terjadi ? Siapa mereka yang membunuh Nyonya Ketlen ? Aku belum sanggup untuk menanyakan itu kepada Joanna. Aku kumpulkan seluruh kekuatanku yang tersisa, dan berusaha berdiri untuk menghampirinya. Aku berusaha mengangkatnya, tetapi setelah melihat kakinya yang terluka entah oleh apa yang terjadi, aku merasa bahwa ia benar-benar kehabisan tenaganya. Maka aku berusaha menggendongnya di punggungku dengan perlahan agar dia tidak merasakan sakit. Setelah cukup nyaman, akupun berdiri dengan Joanna berada di punggungku.

“Kemana kita harus pergi ? Aku akan berusaha melindungimu apapun yang akan terjadi.”, ucapku.

“Jangan pergi kesana.”, jawabnya sambil menunjuk ke arah kanan jauh rumahku. “Mereka sedang melakukan sesuatu di dalam kuil, kita harus cepat lari sebelum mereka melihat kita.”

Aku harus dapat mengambil keputusan tepat saat ini, itu yang ada di pikiranku. Aku berusaha menjauhkan segala perasaan takutku dan mengalihkannya dengan perasaanku untuk melindungi Joanna. Aku lari ke arah semak-semak rendah di belakang rumahku, ke arah lahan luas milik Paman Rowe yang ada di belakang rumahku. Sambil berlari aku melihat sekilas keadaan desaku yang hancur berantakan, bahkan aku sempat melihat kondisi rumah Joanna dimana bagian depan rumahnya seperti hancur akibat dihantam oleh sesuatu yang besar.

Aku terus berlari melewati lahan yang luas ini, menginjak-injak tanaman terung dan kol yang aku lewati. Memang terasa sangat lemas, tetapi aku tidak boleh berhenti, aku harus tetap berlari. Setelah melewati lahan luas ini aku sampai di depan bangunan rumah Paman Rowe. Maka tidak jauh lagi aku akan sampai di daerah peternakan ayam miliknya dan kemudian akan sampai di hutan pinus yang ada di belakangnya.

Perlahan tapi pasti aku sampai di hutan tersebut. Aku tetap berlari cukup jauh ke dalam hutan sampai akhirnya aku merasa aman bahwa mereka tidak akan menemukan kami di sini. Aku menurunkan Joanna dari punggungku dan menyenderkannya di sebuah batang pinus tua yang sudah tertebang. Ia menarik nafas sangat panjang sebelum ia merintih kecil akibat rasa sakitnya kemudian.

Aku berlutut dan membersihkan keringat yang ada di dahinya dengan telapak tanganku. “Aku akan melindungimu, tenangkan dirimu.”, ucapku.

Ia hanya tersenyum kecil. Aku tahu ia pasti berharap seseorang yang lebih kuat daripada aku yang akan melindunginya.

“Apa yang sebenarnya terjadi ? Siapa mereka yang tadi kamu sebutkan ?”, sambungku dengan sedikit terbata-bata akibat letih dan perasaan takut yang masih aku rasakan.

“Aku tidak tahu apakah selain kita masih ada penduduk yang selamat seperti kita, mereka menghancurkan segalanya.”, ia merintih kecil sebelum melanjutkan kata-katanya,”Mungkin mereka mengincar sesuatu yang terdapat di dalam Kuil Ethyre.”

Aku terdiam tak sanggup berkata-kata. Aku teringat dengan ayah dan Getto. Dimana sesungguhnya mereka sekarang ? Apakah makhluk-makhluk kejam itu juga membunuh keduanya ? Aku tak sanggup berpikir lagi, badanku terasa kaku dan lemas.

“Jangan tinggalkan aku, Leon. Aku akan mengikuti kemanapun kamu pergi mulai sekarang.”, air matanya keluar sangat deras tiba-tiba. “Kalau kau meninggalkanku, maka aku tidak akan mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini….” Ia melanjutkannya dengan isak tangisnya. Ia benar-benar takut, ia benar-benar sedih, dan itu juga lah yang kini aku rasakan. Jika aku tidak bertemu kembali dengan ayah dan Getto, maka ialah satu-satunya yang kini kumiliki dan aku harus melindunginya.

Awan hitam mulai menutupi bulan yang bersinar terang di atas sana. Hujan mulai turun perlahan diiringi suara nyanyian burung dan jangkrik di malam hari. Aku memeluk dirinya dengan lembut, “Aku akan melindungimu.” 


Don't forget to check the English version at http://thebladeofaldae.blogspot.com/

Selasa, 03 Januari 2012

Prolog - I

Malam ini terasa sangat dingin dengan dihiasi bulan yang bersinar sangat terang. Duduk sendiri di sofa kayu menunggu kabar dari ayah dan Getto. Semakin gelisah rasanya, dua jam sudah ku menunggu tanpa satu pun dari mereka yang kembali ke rumah. Aku berdiri dan berusaha mengintip melalui jendela yang terdapat di ujung ruangan ini. Di kejauhan terlihat keramaian orang dengan obornya masing-masing sedang menunggu kedatangan sesuatu. Aku tahu sesuatu itu sangat tidak diharapkan kedatangannya di desa kami ini. Mungkin perasaan yang sama juga dirasakan oleh Joanna, perempuan yang sama halnya dengan apa yang kulakukan, juga mengintip melalui jendela rumahnya yang terdapat di seberang kanan rumahku. Kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti mukanya, serupa dengan raut wajahku kali ini.

Kembali duduk di atas sofa kayu tanpa dapat menyembunyikan rasa gelisah yang ada. Tak ada tanda-tanda kedatangan satu orang pun, begitu pula dengan ayah dan kakakku tersebut. Kegelapan malam semakin menyelimuti keheningan malam di desa kami. Itu bukan lah pertanda baik, sebaliknya keadaan seperti ini lah yang semakin kami tidak harapkan. Getto memang memiliki tubuh yang besar seperti kebanyakan keluarga dari ayahku yang berdarah Tiran, tetapi aku tetap tidak yakin dengan kemampuan bertarung dengan pedangnya. Sebagai keluarga petani yang sederhana, ayah tidak pernah membesarkan kami untuk bertarung. Dan tidak pernah pula ia memperkirakan situasi seperti sekarang akan datang.

Tidak lama setelah aku duduk, aku kembali berdiri setelah mendengar kegaduhan yang terjadi di luar rumah. Apa kah sudah datang ? Apakah mereka benar-benar datang ? Rasa tegang dan takut seketika menyelimuti diriku. Suara teriakan semangat maupun ketakutan yang sangat riuh terdengar dari kejauhan di luar rumah kayu ini. Tak sanggup aku untuk melihat apa yang terjadi melalui jendela. Aku hanya mampu menatapi pintu tua yang tepat berada di sebelah kiri jendela tempat aku mengintip sebelumnya. Entah menunggu kembalinya ayah dan kakakku atau menunggu kedatangan sesuatu yang tidak diharapkan tersebut.

Kegaduhan semakin terdengar jelas di luar rumah. Bunyi setiap orang yang berteriak dengan penuh ketakutan dan berlari tanpa arah yang jelas mulai dapat kudengar. Aku terhenyak kembali duduk di atas sofaku  setelah dua atau tiga orang berlari dengan gaduhnya di depan rumahku. Tetapi yang membuat tubuhku membatu dengan penuh rasa takut, bahkan hingga air mata dan keringat keluar sangat derasnya dan bercampur menjadi satu adalah kata-kata yang terdengar entah dari siapa yang mengucapkannya,

Berlutut di dalam panasnya api, menerima kedatangan wahai rasa cinta darah  dan jiwa yang kosong…..!”

“Aaaaarrgghhh…….!”, teriak salah seorang yang sedang berlari dengan sangat keras sebelum kemudian hilang suaranya dan tidak terdengar lagi.

“Tolong, tolooong jangan saya…..!”, teriak salah seorang yang lain.

Selimut akan rasa amarah dan penyesalan, hidup di dalam bayangan dengan hitamnya hati yang hampa, Pujaan dari segalanya, Ay…..!”

Belum selesai kumendengar kata demi kata yang diucapkannya, ia seperti hilang seketika dan tidak bersuara lagi. Apa sebenarnya yang terjadi di luar sana, dan apa yang terdapat di depan rumahku. Teriakan demi teriakan akan rasa takut terus terdengar semakin dan semakin jelas. Suara pecahan kaca, serta teriakan para ternak yang juga berlari semakin memperdengarkan kepadaku sebuah malapetaka yang sedang terjadi di luar rumahku. Dengan perlahan dan pasti, suara teriakan para ksatria, doa-doa para istri, hingga tangisan para bayi yang bersatu dengan perasaan cemas ibunya satu demi satu hilang seperti tertelan oleh sesuatu. Satu demi satu, satu demi satu, dan hilang sudah suara-suara itu. Keheningan kembali menyelimuti bersama dengan kegelapan. Apa yang sebenarnya terjadi ?

Beberapa langkah kaki yang berat terdengar semakin mendekat ke arah rumahku. Terus semakin mendekat. Aku tidak pernah mendengarkan langkah-langkah kaki ini. Aku tidak dapat bergerak, kakiku terasa sangat lemas dan tidak bertenaga. Makhluk macam apa yang sebenarnya akan muncul di pintu rumahku ini.

Waktu menunjukkan pukul 04.30 pagi, matahari belum memperlihatkan keutuhan wujudnya. Aku tidak biasa bangun sepagi ini, tetapi kegaduhan di luar membuatku benar-benar terbangun. Aku segera mencuci muka dan merapikan penampilanku sebelum menemui ayah yang duduk di atas kursi kayu tua di serambi rumah kami ditemani secangkir teh hangat kesukaannya.

“Tidak lama lagi malam akan tiba, tetap duduk lah di rumah dan perhatikan yang ada di sekelilingmu. Jangan percaya siapapun.”, ucapnya memecah keheningan pagi ini.

Ya, aku menyadari kata-kata ayah, mungkin malam ini adalah waktunya. Delapan jam yang lalu, di bawah hujan yang turun begitu derasnya, seorang Bard yang sudah tidak bernyawa ditemukan di bagian samping kanan kuil Ethyre, yang berada tidak jauh dari rumahku, diapit oleh sebuah penginapan tua dan kumuh untuk para pendatang dan rumah Hereff dengan kandang ternaknya yang menempel di tembok bagian kiri kuil. Bard adalah para pengelana yang berasal dari bagian Timur Aldae, Negara tertua di dunia Nhegwards ini. Meski sebagai pengelana, tapi hampir tak pernah seorang Bard pun datang ke desa kami, Tummerfall. Tentu saja mereka tak akan tertarik dengan apa yang ada di desa kami ini.

Keramaian pun segera terjadi di tempat kejadian tersebut. Dan tidak ada satupun dari kami semua yang dapat menutupi rasa cemas dan tegang yang tertulis di muka kami. Bapak Avenicus Olodae, pendeta tertua di desa kami, ayahku, Cisero Jvostar, dan Hereff berkumpul mengelilingi mayat Bard tersebut. Satu demi satu dari mereka berlutut dan mulai memeriksa mayat yang janggal tersebut. Tidak biasanya Bard yang berkulit kecoklatan terlihat sepucat dan seputih ini. Bahkan hampir menyaingi putihnya kulit Bapak Avenicus, yang merupakan Bangsa Teteros, yang sebagian besar merupakan rakyat Proderim, negeri tetangga Aldae, yang dikenal dengan kulit putihnya.

“Seorang Bard tidak mungkin membuang-buang waktunya hanya untuk datang ke Tummerfall, dan sebelumnya tidak satupun dari kita yang melihat kedatangannya di desa ini. Apa yang anda pikirkan, Bapak ?”, ujar Hereff sambil mengalihkan tatapannya dari mayat Bard tersebut ke arah Bapak Avenicus.

Sambil membuka pakaian mayat tersebut, ia menjawab,“ Bersiap-siap lah kalian semua, kegelapan telah datang.” Ia menghela nafas panjang,”Mungkin ini adalah pertanda dari mereka.”

“Apa yang kau maksud ? Jelaskan kepada kami semua.”, timpal ayah dengan rasa penasaran dan takutnya.

“Mereka telah kembali, para petarung yang mengumpat di balik bayangan, Aydelmn.”, jawabnya sambil menunjuk sebuah lambang lingkaran dengan di dalamnya terdapat sebuah mata vertikal yang bagian atas dan bawahnya memotong  bagian pinggir lingkaran, yang terlukis jelas di punggung mayat Bard tersebut. “Mereka akan segera datang ke desa ini, ini adalah tanda dari mereka.”

Ketakutan seketika menyelimuti semua orang yang ada di sana. Aku tidak tahu siapa itu Aydelmn yang baru saja aku dengar tersebut, tetapi aku merasa sangat takut. Begitu halnya dengan Getto yang terdiam tepat di sampingku. Entah apakah ia mengetahui mengenai Aydelmn tersebut atau tidak, tetapi aku merasakan ketakutan yang sama dengan yang aku rasakan. Hening dan lebih hening dari sebelumnya, tidak ada satupun yang berbicara, takut dan sangat takut dirasakan oleh kami semua. Dan tentu saja kami menyadari bahwa sesuatu akan datang ke desa kami ini.


Don't forget to check my English version in http://thebladeofaldae.blogspot.com/